Sebagai seorangΒ freelancerΒ yang tidak identik denganΒ fee lancar,Β saya mengalami transisi yang cukup signifikan dari era saya bekerja kantoran hingga saat ini. Salah seorang teman saya bahkan pernah bertanya pada saya,Β “Are you surviving,Β Bid?”Β dan anehnya saya justru jauh lebih bisa bertahan hidup di masa sekarang ketimbang masa lalu. Trik mengatur keuangan tentunya tidak saya dapatkan dari pengalaman pribadi, tapi justru dari orang-orang di sekeliling saya.
Orang pertama adalah salah satu kerabat dekat saya. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga di usia senja yang tidak punya uang pensiun, tidak punya pengalaman bekerja maupun berwirausaha, sangat jarang mendapatkan kiriman uang dari keluarganya, dan memiliki warisan yang sangat sedikit, tapi anehnya mampu hidup berkecukupan. Saya sampai curiga beliau diam-diam pesugihan. Tapi ternyata kunci hidup berkecukupannya hanya satu: selalu bayar semua tagihan di awal bulan.
Inspirasi kedua datang dari teman saya, Arya. LewatΒ tweet-nya, ia membagikan banyak pikiran-pikiran brilian yang berbunyi seperti ini: “Prinsip dasar: uang harus ditabung atau diamalkan. Kalaupun dibelanjakan belilah pengalaman atau barang yang harganya pasti naik.”
Dan last but not least,Β ada teman saya, Irma, yang membagikan sebuahΒ postΒ di akun Instagram pribadinya dengan bunyi kira-kira seperti ini: “Jatah rezeki dari Allah itu pasti cukup untuk hidup, tapi tidak akan pernah cukup untuk gaya hidup”
Dari prinsip yang dibagikan ketiga orang di atas, saya jadi menyadari kenapa saya justru bisa hidup cukup di masa keuangan serba tidak pasti seperti sekarang ketimbang di masa lalu.
Stress Mendorong Kita untuk Berperilaku Konsumtif
Semasa bekerja, setiap minggu-minggu pitchingΒ dan lembur selesai, saya dan teman saya merasa selalu perlu untuk memberikanΒ rewardΒ pada diri sendiri dengan jalan-jalan keΒ mallΒ dan makan di restoran dengan budgetΒ minimal Rp.100.000,00 sekali makan. Hasilnya kami selalu beli barang-barang diskon secara impulsif padahal ya kami nggak butuh-butuh amat. Belum lagi kami semua pasti punyaΒ bucket listΒ yang harus dipenuhi setiap gajian. Kalimat “Nanti ya kita beli kalau udah gajian” seolah jadi penyemangat sakral di tanggal tua. Ujung-ujungnya saat tanggal gajian tiba, kami lupa diri dan membeli semua barang yang kami idamkan sekaligus, lengkap dengan barang-barang diskonan remeh temeh. Sindrom tanggal muda ini mencapai titik puncak ketika saya baru jadiΒ first jobberΒ dimana gaji pertama hanya mampu bertahan satu minggu karena euforia memiliki uang sendiri.
Sekarang ketika sayaΒ freelance,Β tekanan memang berkurang secara signifikan, tapi bukannya saya tidak pernahΒ stress.Β Β Alih-alih pergi keΒ mallΒ untuk berbelanja, saya lebih sering curhat dengan teman saya untuk meredakan kegalauan. Begitupun juga denganΒ bucket list,Β setiap saya gajian saya memilih prioritas teratas dariΒ bucket listΒ . Terkadang kalau bingung mau memilih bucket list mana yang harus dipenuhi terlebih dahulu, saya selalu mengelompokan bucket listΒ ke dalam empat kategori: 1. Penting & Mendesak; Β 2.Penting & Tidak Mendesak; 3. Tidak Penting & MendesakΒ 4. Tidak Penting & Tidak Mendesak.
Minimalisasi Utang dan Cicilan
Tidak punya uang memang menyedihkan, tapi punya banyak utang jauh lebih menyedihkan. Memiliki utang sama halnya dengan ketika kita memilih melewati jalan pintas untuk menghindari kemacetan. Kita dilenakan dengan jalanan yang lancar untuk sementara, tapi di ujung jalan kita dihadapkan pada kemacetan yang jauh lebih parah.
Seorang teman saya bahkan pernah meminjamkan uang pada seorang temannya yang mengaku sedang butuh dana. Tapi pada suatu hari, ia melihat temannya tersebut pamer foto keriaan di social media dalam keadaan masih berutang. Saat itu saya belajar bahwa mendapat uang memang susah, tapi mendapatkan kepercayaan ternyata jauh lebih susah.
Menghapus Akun Social Media Pangkal KeriyaanΒ
SemenjakΒ uninstallΒ Path, hidup saya jauh lebih enteng. Selain kuota internet saya tidak lagi terkuras, saya juga berhenti membandingkan hidup saya dengan kehidupan orang lain yang Β berlimpah rezeki. Hal tersebut juga saya aplikasikan dengan mengurangi frekuensi cek instagram.
Daripada menagih kabar secaraΒ online,Β saya justru lebih sering membuat janji untuk bersilaturahmi langsung dengan teman-teman saya. Hasilnya saya jadi tahu cerita-cerita lengkap mereka. Lebih dari sekedar tahu teman saya makan di restoran mewah mana hari ini atau pamerΒ boarding passΒ untuk liburan ke negara mana minggu ini,
Dengan bertemu langsung, saya juga banyak mendapatkan masukan berharga untuk teman-teman saya yang selalu jadi sumbangan ide dan semangat untuk kembali bekerja.
Perbaikan GiziΒ
Dinner fancy,Β mam cantik, TGIF,Β you name it,Β pastinya sudah jadi keseharian dari millenial kelas menengah atas dewasa ini. Awalnya saya terbius oleh citarasa dan penampilan cantik makanan tersebut hingga lebih dari sekali dua kali saya memilih untuk memotret, ketimbang berdoa sebelum makan.
Sekarang, saya semakin sadar makanan-makanan tersebut tidaklah abadi. Setelah pulang dari restoran, saya bahkan lupa detail rasa makanan tadi seperti apa dan saya jadi tahu bentuk akhir makanan tersebut setelah masuk ke perut saya.
Dulu ketika bekerja kantoran, saya selalu menghabiskan minimal Rp. 200.000,00-Rp 300.000,00 setiapΒ weekendΒ hanya untuk mam cantik di restoranΒ fancyΒ bersama teman. Padahal total Rp.300.000,00 setiap minggu itu kalau ditabung setahun bisa buat beli tiket pesawat liburan ke luar negeri.
Berhubung sekarang saya jadiΒ freelancerΒ di mana saya bisa bekerja di akhir pekan dan libur di hari kerja,Β budgetΒ untuk perbaikan gizi berkurang. Tapi lebih dari itu, saya beruntung karena punya teman-teman yang bersedia diajak makan di restoran-restoran mewah Senopati maupun di Amigos (Agak Minggir Got Sedikit). Ketimbang ngopi diΒ coffeeshop-coffeeshopΒ yang mayoritas bertema sama dengan bangunan industrial dan meja-meja kayu tipikal, teman-teman saya justru mengajak saya makan di kedai-kedai autentik dengan makanan di bawah Rp.50.000,00 yang bikin puas lahir batin.
BudgetΒ untuk makan di luar juga saya pangkas habis-habisan dengan membawa botol air putih dari rumah kemanapun saya pergi karena kita semua tahu harga air putih di restoran mewah setara dengan satu porsi makanan lengkap di warteg.
Dahulu saya termasuk orang yang sering makan lebih dari satu porsi makanan berat di restoran ketikaΒ hang out. Tapi setelah membaca artikel kesehatan, saya jadi paham bahwa ketika kita tetap lapar walaupun kita sudah makan banyak itu artinya kita kurang minum. Sejak saat itu saya memilih minum banyak air untuk tetap fokus (bukan endorse) saat meetingΒ di restoran daripada mengudap camilan yang membuat saya cepat haus.
Kembali ke Transportasi Umum
Sejak bisnis transportasiΒ on demandΒ berkembang, biaya transportasi menempati minimal 40% dari anggaran biaya hidup. Maka mulai minggu lalu, saya memaksakan diri untuk kembali naik transportasi umum masal. Alasannya ada tiga: saya tidak mau lagi jadi bagian dari oknum-oknum yang bikin macet (kecuali kalau sedang kepepet), mengembalikan budaya membaca di dalam bis atau kereta, dan tentunya memangkas biaya hidup.
Saya akui, perubahan gaya hidup ini sangat sulit untuk dijalani. Selain harus selalu waspada dengan kriminalitas yang mengintai, persaingan berebut kursi di transportasi umum yang lebih ketat daripada masuk UI seringkali membuat saya ‘t e r p e l a t u c k’. Belum lagi aroma-aroma keringat para penumpang yang mampu membius lokal hidung saya.
Tapi setidaknya saya mendapatkan banyak hikmah dan keuntungan. Pertama, saya jadi belajar untuk mengatur waktu. Kalau dulu saya baru berangkat 15 menit dari waktu janjian, sekarang saya harus berangkat maksimal satu jam sebelum janjian. Kedua, saya bisa mengisi waktu saat terjebak kemacetan dengan membaca banyak halaman buku. Ketiga saya bisa lebih dekat dengan masyarakat dan Β mendengar cerita-cerita keseharian yang humanis Β langsung dari mulut penumpang di sekeliling saya.
Olahraga Gratis
BiayaΒ keanggotaanΒ fitness yang tidak sedikit pastinya membuat kita resah. Kalau nggak fitness, badan kendor, kalau fitness, giliran dompet yang kendor. Salah seorang teman saya bahkan mengaku bahwa ia sering jadi ‘donatur’ di tempat fitnessΒ langganannya karena ia tetap harus bayar, tapi tidak bisa meluangkan waktu untuk berolahraga karena sibuk.
Beruntunglah saya punya teman-teman yang terkadang mengajak olahraga gratis dengan cara lari malam sepulang kerja di lapangan. Berbeda dengan lari diΒ treadmillΒ di tempatΒ fitnessΒ di mana kita hanya berlari di tempat dan dikelilingi dinding segiempat, berlari bersama di lapangan membuat kita merasakan antusiasme mencapai tujuan, berpapasan dengan orang-orang lain, dan bertukar cerita sambil berlari.
Cara lain untuk berolahraga gratis juga bisa kita dapatkan dengan mengikutiΒ Car Free Day,Β asalkan kita bersedia bangun pagi dan kuat iman dengan aneka ragam jajanan yang justru bikin surplus kalori.
Kembali membahas poin awal, Β saat stress kita justru cenderung berperilaku konsumtif, olahraga menjadi salah satu cara untuk menghilangkan stress dengan melepaskan hormon endorfin. Jadi daripada berbelanja, saya memilih berolahraga ketika stress. Ya…minimal lari dari kenyataan lah.
Mengunjungi Bioskop AlternatifΒ
Karena modal pekerjaan seperti saya adalah dengan memperkaya referensi tontontan dan bacaan, biaya menonton bisa menguras biaya.Β Setelah menjadiΒ freelancerΒ saya membuat prioritas film yang akan saya tonton. Jika tujuannya untuk referensi, saya akan memaksakan diri untuk mengunjungi bioskop setelah melihatΒ review-nya. Tapi jika untuk menonton rekreasional saya biasa menggunakan fasilitasΒ streamingΒ berlangganan yang disediakanΒ provider.Β Selain dua hal di atas ada cara lain untuk menikmati film-film berkualitas.
Tentunya, saya tidak akan menyarankan kalian untuk membajak, karena saya juga takut besok-besok akses menuju blog ini dilabeli situs internet sehat. Tapi saya ingin berbagi pengalaman menonton di bioskop alternatif , seperti Kineforum di Cikini, Kinosaurus di Kemang, Cinemacet setiap hari kerja di IFI, dan festival-festival film tahunan. Hampir setiap bulan bioskop-bioskop tersebut mengadakan program pemutaran film-film lokal maupun internasional yang dibuat secara independen ataupun komersial. Β Tentunya film-film tersebut tidak kalah menarik dengan bioskop-bioskop utama. Walaupun tidak menarik biaya seperti bioskop utama, tapi bioskop-bioskop alternatif berjiwa mulia tersebut memohon donasi yang cukup terjangkau untuk membantu para pembuat film.
Membeli PengalamanΒ
Kembali pada poin teman saya, Arya, kalau kita ingin membelanjakan sesuatu dengan uang yang kita miliki, belilah pengalaman seperti liburan ke luar negeri atau mengikutiΒ workshop.Β Arya sempat berkomentar bahwa ia lebih baik hidup prihatin di kota sendiri tapi bisa tetapΒ happy-happyΒ ketika berkunjung ke kota orang.
Sama halnya seperti uang Rp.300.000,00 yang dulu saya hamburkan dengan mudah setiapΒ weekendΒ kalau ditabung satu tahun bisa untuk membeli tiket pesawat untuk berlibur ke luar negeri dan mengenal budaya dan dunia baru.
Ketika saya menjadiΒ freelancer,Β saya memang belum berani berlibur jauh-jauh. Usaha terkecil yang bisa saya lakukan adalah dengan membeli pengalaman lewatΒ workshop berbayar maupun gratisΒ atau membeli buku. Bagi saya, buku adalah cara termurah untukΒ travelingΒ lintas tempat dan waktu. Β Ayah saya pun pernah bilang bahwa ketika kita memenuhi kebutuhan dari bagian mata ke atas, kita secara otomatis bisa memenuhi kebutuhan dari bagian mata hingga ke anggota tubuh paling bawah.
FotoΒ headerΒ olehΒ Danny KeksproΒ dariΒ Unsplash
Leave a comment